Fotografi
di jaman sekarang sudah berkembang semakin pesat seiring meningkatnya
kemajuan dalam kehidupan masyarakat.
Fotografi yang awalnya adalah
teknologi penangkap citra (image) kini menjadi salah satu bagian penting
dalam industri kreatif khususnya di Indonesia (dia merupakan bagian
subsektor Film, Video, dan Fotografi).
Industri kreatif sendiri
berkaitan dengan penciptaan karya melalui berbagai tahap seperti
perencanaan konsep/ide, lokasi, peralatan, dan tentunya dana.
Dalam
perjalanannya, fotografi juga semakin berkembang dan terbagi menjadi
bermacam bidang seperti industri komersial, jurnalistik hingga seni
foto.
Fenomena yang ada saat ini seiring meluasnya penggunaan
multimedia di internet, banyak dijumpai foto-foto yang terdapat di media
sosial maupun media online.
Bahkan dari pencarian Google pun kita bisa
dengan mudah mendapat banyak foto yang disajikan oleh sang mesin pencari
tersebut.
Apakah kita pernah memikirkan tentang bagaimana sebetulnya hak
cipta dari foto yang tersedia di internet ini ? Bisakah kita kemudian
salin atau unduh file foto yang kita temui dengan mudahnya ?
Hak Cipta dalam fotografi
Ada baiknya sebagai
seorang pengguna internet atau yang menekuni bidang fotografi, kita
kenalan lebih jauh tentang hak cipta yang kerap dibahas saat membuat
sebuah karya foto.
Hak Cipta atau Copyright menurut Pasal 1 ayat (1)
Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyatakan hak
cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku".
Jadi bila kita amati karya foto
sebetulnya merupakan produk yang dilindungi hak cipta, sebagai bagian
dari kekayaan intelektual.
Hak cipta ini memang melekat pada sang
fotografernya, namun hak tersebut bisa diberikan ke pihak lain misal
saat fotonya dijual, atau ada pihak yang meminta izin untuk memakai
karya foto tersebut.
Peran pemerintah adalah melindungi pencipta
dan pemegang hak terkait supaya tidak dilanggar oleh pihak lain, melalui
instrumen penegakan hukum dan mekanisme pidana di pengadilan.
Ada contoh menarik. Sebuah patung yang menjadi salah satu atraksi
populer di Denmark, yaitu patung Little Mermaid, dilarang dipotret untuk
kepentingan bisnis.
Keluarga pematung Edvard Erikson, pembuatnya,
dikenal sangat protektif dan sangat agresif dalam menangani hal-hal yang
berkaitan dengan hak cipta patung tersebut.
Dari cerita di atas
bisa diambil pesan bahwa terkait hak cipta dalam fotografi, kita perlu
tahu apakah boleh bila akan memotret obyek yang memiliki hak cipta
(bahkan di ruang publik sekalipun)? Misalnya terkait dengan karya
arsitektur; seperti bangunan, gedung, atau benda lain yang serupa
dengannya yang dapat diklasifikasi sebagai karya arsitektur yang
dilindungi oleh Undang-undang.
Memotret gedung ternyata bisa
menimbulkan pelanggaran hak cipta apabila ada nilai komersial yang
terlibat (termasuk oleh wartawan).
Namun, apabila tidak ada nilai
komersial sekalipun, pemegang hak cipta atas gedung tersebut tetap
memiliki kewenangan untuk melarang orang memotret gedung tersebut. Atau,
dalam kasus lain, memotret etalase toko juga menjadi persoalan dalam
hak cipta.
Nah rumit kan ternyata?
Kembali ke membahas hak cipta dalam karya foto.
Bagi seorang
fotografer, satu hal yang perlu diingat adalah untuk mendapat
perlindungan hak cipta, suatu karya seni fotografi tidak perlu melewati
tahap pendaftaran terlebih dahulu, karena secara otomatis setelah karya
tersebut diwujudkan dalam bentuk nyata dan dipamerkan ke khalayak umum
maka karya tersebut telah memperoleh pengakuan hak cipta dan dilindungi
hak ciptanya.
Bila pun dilakukan pendaftaran hak cipta oleh
fotografernya maka hal tersebut dilakukan semata-mata untuk kepentingan
pembuktian apabila kelak dikemudian hari timbul sengketa yang berkaitan
dengan hak cipta atas foto-foto tersebut.
Sebagian fotografer pun
memutuskan untuk minimal memberikan watermark dalam fotonya sebagai
penanda akan karya miliknya.
Sekedar info, hak cipta fotografi
dapat kita daftarkan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Untuk
mengurusnya, ada beberapa tahapan dan biaya yang dibutuhkan.
Biaya pendaftaran lisensi hak cipta Rp.75.000,- dan untuk
mendaftarkan satu ciptaan dikenakan biaya Rp.200.000,- Pihak Ditjen HKI
juga telah menyiapkan layanan aduan apabila ada fotografer yang ingin
menuntut pihak yang menggunakan karya fotonya tanpa izin.
Pemegang
Hak Cipta pada dasarnya juga bisa memberikan lisensi atau ijin
penggunaan karya fotonya pada pihak lain dalam berbagai skenario,
misalnya:
1. Hak eksklusif, artinya setelah foto tersebut dijual ke satu pihak, dia tidak dapat dijual kembali kepada pihak lain.
2.
Hak noneksklusif, hak ini memungkinan selembar foto dijual kepada
beberapa pihak (pembeli juga harus tahu bahwa foto yang dia beli juga
dapat digunakan pihak lain)
3. License fee (biaya izin), yaitu sejumlah uang atau bentuk kompensasi lain yang dibayarkan kepada pemegang hak cipta;
4.
Limited use (penggunaan terbatas), yaitu izin yang diberikan secara
terbatas. Misalnya, seorang fotografer mengizinkan fotonya untuk dicetak
di poster, namun tidak untuk dicetak pada kaos; atau fotonya dapat
digunakan di internet, namun tidak boleh dicetak.
Tapi tentu saja, kenyataan di lapangan bisa berbeda karena rendahnya
literasi hukum di sebagian masyarakat atau mereka merasa tidak tertarik
untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan aspek legal. Atau mungkin
si fotografer merasa karya fotonya memang boleh untuk dipakai siapa
saja, tanpa meminta imbalan.
Maka bila demikian adanya, ada
baiknya sebagai fotografer atau pihak yang sedang mencari karya foto,
kita juga mengenal tentang hak pakai berupa Creative Commons (CC) dalam
karya fotografi.
Creative Commons digunakan ketika insan kreatif
memutuskan untuk memberikan kebebasan kepada siapa saja untuk
menggunakan karyanya.
Creative Commons memiliki beberapa ketentuan yang
jenis izinnya dapat ditentukan pemilik karya foto.
Ada empat tipe Creative Commons yang dapat digunakan dalam karya fotografi, yaitu:
*
Attribution (BY). Lisensi ini membolehkan pihak lain dalam menggunakan
karya kreatif untuk mencetak ulang (copy), mendistribusikan, menampilkan
(display), menjalankan (perform), dan membuat karya kreatif turunan
berdasarkan karya kreatif aslinya, namun dengan mencantumkan sumber
pembuatnya;
* Share-Alike (SA). Lisensi ini membolehkan pihak lain
dalam menggunakan karya kreatif untuk membuat karya kreatif turunan
berdasarkan karya kreatif aslinya;
* No Derivatives Work (ND).
Lisensi ini tidak membolehkan pihak lain dalam menggunakan karya kreatif
untuk membuat karya kreatif turunan berdasarkan karya kreatif aslinya;
* Non-Commercial (NC). Lisensi ini tidak membolehkan pihak lain menggunakan karya kreatif untuk kepentingan komersial.
Kasus di Instagram
Selama ini orang sepertinya
sudah terbiasa mengambil foto dari media sosial untuk digunakan baik
kepentingan pribadi atau bahkan komersil, tanpa izin.
Kita mesti paham
kalau foto yang ada di media sosial misal Instagram, adalah tetap hak ciptanya melekat pada kita pemilik akun tersebut.
Instagram
mendapat lisensi dari kita untuk menyimpan dan menampilkan foto
tersebut dalam platform mereka (lisensi sudah kita berikan di awal saat
kita mendaftar dan menyatakan setuju terhadap Terms of Service).
Namun
lama-lama makin banyak pihak yang mengambil postingan foto di Instagram
tanpa izin dan ini memaksa pihak Instagram bulan lalu memutuskan
merevisi ketentuan layanannya.
Berdasarkan laporan yang dihimpun dari The Verge, Sabtu 6 Juni,
Instagram mengatakan jika ingin menyematkan sebuah postingan di
Instagram pada situs web, penyemat harus mendapatkan izin dari
pengunggah asli, jika tidak penyemat dapat digugat oleh peraturan hak
cipta.
Tentu saja fotografer profesional akan cenderung mendukung
keputusan Instagram ini, karena hal ini akan menguntungkan mereka untuk
bernegosiasi dengan penerbit yang menggunakan karyanya.
Hingga saat ini,
kebanyakan orang umumnya merasa bebas untuk memasang sebuah postingan
dari Instagram di situs mereka sendiri tanpa khawatir tentang masalah
hak cipta.
Namun kini, hal itu mungkin akan berubah.
"Kebijakan
platform kami mengharuskan pihak ketiga untuk memiliki hak yang
diperlukan dari pemegang hak yang berlaku.
Ini termasuk memastikan
mereka memiliki lisensi untuk membagikan konten ini, jika lisensi
diwajibkan oleh hukum," ungkap Instagram kepada Ars Technicia.
Kesimpulan
Mari
kita saling menghargai hak cipta karya foto siapapun.
Dari ulasan saya
diatas, kita jadi paham kalau pada setiap karya foto yang kita buat
melekat hak cipta, bahkan tanpa perlu didaftarkan.
Kita juga perlu
hati-hati saat mengambil foto, jangan sampai melanggar privasi, etika
apalagi hukum (misal benda yang difoto memiliki hak cipta yang tidak
boleh asal difoto tanpa izin).
Kita bisa memberikan hak tersebut ke
pihak lain dalam berbagai bentuk misal saat menjual foto, atau
memberikan dengan catatan melalui lisensi Creative Commons.
Untuk
itu aspek legal dalam karya cipta fotografi ada baiknya selalu
diperhatikan oleh semua pihak demi melindungi hak kekayaan intelektual
yang dimiliki dan mencegah adanya gugatan hukum yang tidak diinginkan.