Anggota Komisi VII DPR, Adian Napitupulu, tidak setuju penggunaan alat deteksi COVID-19 menggunakan nafas buatan dalam negeri, GeNose
C19, atau Gadjah Mada Electric Nose, dihentikan. Alasannya, GeNose
digemari masyarakat karena tidak harus dicolok hidungnya seperti tes PCR
atau antigen, harga tesnya pun terjangkau yakni berkisar Rp30 ribu. Oleh
karena itu, pria 50 tahun tersebut menilai menghentikan penggunaan
GeNose akan melukai rakyat kecil yang harus tetap beraktivitas untuk
mencari nafkah meskipun di masa pandemi. "GeNose dengan harga yang
terjangkau dibandingkan antigen menjadi bukti bahwa negara hadir untuk
semua rakyat tidak hanya untuk si kaya saja. GeNose diizinkan digunakan
kan pasti ada prosesnya, apalagi dari Kemenkes juga sudah kasih izin,"
kata kata Adian, melalui keterangan persnya, Sabtu, 26 Juni 2021. Ketika
GeNose ditiadakan, tegas dia, yang paling terpukul sebenarnya rakyat
kecil yang tetap harus beraktivitas untuk mencari nafkah. Berikutnya,
perjalanan akan berbiaya tinggi dan mempengaruhi mobilitas manusia yang
berikutnya bisa memukul perekonomian.
Adian
juga menyebut GeNose merupakan alat uji yang paling murah dan bukan
murahan, apalagi asal-asalan. Buktinya, GeNose teruji dan izin edarnya
dikeluarkan Kemenkes (Kemenkes RI AKD 20401022883). Kehadiran
GeNose juga membawa dua sisi positif yakni bisa dijangkau oleh beragam
kalangan dan di sisi lain membantu negara untuk melakukan identifikasi
mereka yang terkena COVID-19 dengan cepat dan murah. "Menghentikan
penggunaan GeNose akan membuat kesehatan hanya menjadi milik orang
orang kaya saja yang mampu membayar mahal hanya untuk tes saja. Sederhananya GeNose menjawab kebutuhan rakyat dan negara," katanya. Bukan karena GeNose Adian
tidak sepakat jika lonjakan kasus COVID-19 di Tanah Air dikaitkan
dengan akurasi GeNose. Dia mengatakan patut dipertanyakan beberapa
desakan yang menginginkan penggunaan GeNose dihentikan. "Itu
pernyataan yang berdasarkan data, rasa atau kepentingan? Menurut saya
kalau berdasarkan data jika GeNose menjadi penyebab maka harusnya
lonjakan COVID terjadi setidaknya 1 atau 2 bulan setelah GeNose
dipergunakan atau sekitar bulan Maret atau April 2021 bukan bulan Juni,"
kata dia. Dia menyampaikan faktanya pada Maret dan April justru
kasus COVID Indonesia justru pada titik terendah alias landai sekali. Dia melihat mereka yang mengkambinghitamkan GeNose tanpa data bisa jadi
hanya menduga-duga. "Hanya dapat dari “katanya” atau “infonya”,
tanpa pegang data yang valid. Atau bisa juga bagian dari kelompok yang
memiliki kepentingan politik maupun bisnis," katanya. Persaingan Bisnis Adian
juga tak memungkiri kemungkinan adanya persaingan bisnis antara GeNose
dan antigen. "Sangat mungkin walaupun konspirasi konflik itu sulit
dibuktikan namun aromanya bisa tercium," tuturnya. Menurutnya,
GeNose maupun segala bentuk dan jenis alat tes lainnya sebaiknya
dibiarkan untuk digunakan dengan catatan selama alat itu memenuhi
standar. Bahkan Adian mengusulkan, penggunakan GeNose tidak hanya
digunakan di bandara atau stasiun saja. Tapi, juga di terminal, pasar,
mal, kelurahan, dan berbagai tempat umum. "Sehingga akses
masyarakat untuk melakukan deteksi dini terhadap COVID-19 semakin
terbuka dengan harga yang juga terjangkau," katanya. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar