Masa permulaan Islam
Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, diterangkan bahwa pada masa awal Islam, seseorang bisa mewarisi harta dari orang yang meninggal dunia karena keturunan, pengangkatan anak, dan sumpah setia.
Inilah makna yang terkandung dalam perbuatan Nabi SAW mempersaudarakan sahabat Anshar dengan sahabat Muhajirin.
Pada masa itu, juga diperlakukan pewarisan harta orang yang memerdekakan budak (mu'tiq) terhadap mantan budak yang telah dimerdekakannya ('atiq) dengan sistem yang disebut dengan wala' (yaitu hak mewarisi pada mantan majikan terhadap mantan budak yang pernah dimerdekakannya). Dengan catatan, sistem wala' ini tidak berlaku timbal balik.
Hak waris-mewarisi pada masa permulaan Islam juga diberlakukan antara pasangan suami-istri (zaujiyah). Oleh karena itu, yang berlaku dalam kewarisan Islam pada masa permulaan adalah sistem nasab-kerabat yang berlandaskan kelahiran (nasab, qarabah, rahm), sebagaimana disebutkan dalam Alquran, SuraH Al-Anfal [8]: 75.
Dengan sistem tersebut di atas, dihapuslah hak mewarisi yang didasarkan pada sumpah setia, kecuali bagi pihak-pihak yang tetap memperlakukannya. Adapun mengenai warisan atas alasan pengangkatan anak memang sejak awal telah dihapuskan Islam.
Hal ini tertuang dalam perintah Allah SWT yang ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad SAW mengenai penghapusan akibat hukum yang timbul dari pengangkatan Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya (Alquran Surah Al-Ahzab [33]: 5, 37, dan 40).
Pascahijrah
Pada masa sebelum turun ayat waris, istri Saad bin Ar-Rabi bersama dua orang anak perempuannya pernah datang kepada Nabi SAW, sambil bertanya, ''Ya Rasulullah, ini dua orang anak perempuan Saad bin Ar-Rabi yang mati syahid pada Perang Uhud bersamamu. Paman mereka merampas semua harta mereka tanpa memberi bagian sedikit pun kepada anak-anak perempuan itu. Adapun untuk kawin, kedua anak itu perlu uang.''
Lalu, Rasulullah SAW bersabda, ''Mudah-mudahan Allah segera memberi penyelesaian mengenai masalah itu.'' Kemudian turun ayat waris, yaitu Surah An-Nisa [4]: 11.
Sesudah itu, turun pula ayat-ayat kewarisan lebih lanjut secara terperinci mengenai pembagian kepada para ahli waris dalam segala kondisinya, seperti kedua orang tua, suami, istri, saudara-saudara sekandung, dan saudara-saudara seayah (QS. An-Nisa [4]: 12 dan 176).
Dengan turunnya ayat waris, dapat dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak menerima harta warisan tak hanya terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, tapi juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi).
Kehidupan mereka sedikit banyak bergantung pada hasil rampasan perang dari bangsa-bangsa atau suku-suku yang telah mereka taklukkan. Di samping itu, mereka juga memperolehnya dari hasil perniagaan.
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi nabi, masyarakat Arab jahiliyah telah mengenal sistem kewarisan. Dalam hal pembagian harta warisan, mereka berpegang teguh kepada adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Pada masa ini, waris-mewarisi terjadi karena tiga sebab, yaitu adanya pertalian kerabat atau hubungan darah, pengakuan atau sumpah setia, dan pengangkatan anak. Sebab-sebab itu masih belum mencukupi sebelum ditambah dengan dua syarat tambahan, yakni sudah dewasa dan merupakan laki-laki.
Perempuan dan anak-anakPada masa jahiliyah, anak laki-laki yang belum dewasa serta perempuan, tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Bahkan, mereka beranggapan, janda dari orang yang meninggal itu dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya.
Masyarakat Arab jahiliyah menganggap anak-anak tidak mungkin menjadi ahli waris karena belum mampu berperang, menunggang kuda, memanggul senjata ke medan perang, dan memboyong harta rampasan perang. Selain itu, status hukumnya juga masih berada di bawah perlindungan.
Sementara itu, kaum perempuan tidak masuk dalam kelompok ahli waris karena fisiknya yang tidak memungkinkan untuk memanggul senjata dan bergulat di medan laga. Dan jiwanya yang sangat lemah bila melihat darah.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, satu-satunya orang pada masa jahiliyah yang mewariskan hartanya kepada anak perempuan dan anak laki-laki adalah Amir bin Jusyaim bin Ganam bin Habib. Dia adalah seorang pemuka bangsa Arab pada masa jahiliyah yang mewariskan hartanya sesuai dengan aturan Islam. Ia membagi harta warisan dengan ketentuan bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (1:2).



Tidak ada komentar:
Posting Komentar