Maka bangkitlah orang-orang Muhajirin mengemasi barang-barang mereka, dan bagaikan terbang mereka berangkat ke Makkah, dibawa oleh kerinduan dan didorong cinta pada kampung halaman.
Tetapi baru saja mereka sampai di dekat kota, ternyatalah berita tentang masuk Islamnya orang-orang Quraisy itu hanyalah dusta belaka.
Ketika itu mereka merasa amat terpukul karena telah berlaku ceroboh dan tergesa-gesa. Tetapi betapa mereka akan kembali, padahal Kota Makkah telah berada di hadapan mereka?
Sementara itu, orang-orang musyrik di Kota Makkah telah mendengar datangnya buronan yang telah lama mereka kejar-kejar dan memasang perangkap untuk menangkap. Dan sekarang datanglah sudah saatnya, dan nasib telah membawa mereka ke tempat ini.
Perlindungan, ketika itu merupakan suatu tradisi di antara tradisi-tradisi Arab yang memiliki kekudusan dan dihormati.
Sekiranya ada seorang yang lemah yang beruntung masuk dalam perlindungan salah seorang pemuka Quraisy, maka ia akan berada dalam suatu pertahanan yang kokoh, hingga darahnya tak boleh ditumpahkan dan keamanan dirinya tak perlu dikhawatirkan.
Sebenarya, orang-orang yang mencari perlindungan itu tidaklah sama kemampuan mereka untuk mendapatkannya. Itulah sebabnya hanya sebagian kecil saja yang berhasil, termasuk di antaranya Utsman bin Mazh’un yang berada dalam perlindungan Walid bin Mughirah.
Ia masuk ke Kota Makkah dalam keadaan aman dan tenteram, dan menyeberangi jalan serta gang-gangnya, menghadiri tempat-tempat pertemuan tanpa khawatir akan kezaliman dan marabahaya.
Tetapi Ibnu Mazh’un, laki-iaki yang ditempa Alquran dan dididik oleh Muhammad SAW ini memerhatikan keadaan sekelilingya. Dilihatnya saudara-saudara sesama Muslimin, yakni golongan fakir miskin dan orang-orang yang tidak berdaya, tiada mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan orang yang sedia melindungi mereka.
Dilihatnya mereka diterkam bahaya dari segala jurusan, dikejar kezaliman dari setiap jalan. Sementara ia sendiri aman tenteram, terhindar dari gangguan bangsanya. Maka rohnya yang biasa bebas itu berontak, dan perasaannya mulai bergejolak, dan menyesallah ia atas tindakan yang telah diambilnya.
Utsman keluar dari rumah dengan niat yang bulat dan tekad yang pasti hendak menanggalkan perlindungan yang dipikul Walid. Selama itu, perlindungan tersebut telah menjadi penghalang baginya untuk dapat menikmati derita di jalan Allah dan kehormatan senasib sepenanggungan bersama saudaranya kaum Muslimin.
Ia berkata, "Demi Allah, sesungguhnya mondar-mandirku dalam keadaan aman disebabkan perlindungan seorang tokoh golongan musyrik, sedang teman-teman sejawat dan kawan-kawan seagama menderita azab dan siksa yang tidak kualami. Ini merupakan suatu kerugian besar bagiku."
Lalu ia pergi mendapatkan Walid bin Mughirah, seraya berkata, “Wahai Abu Abdi Syams, cukuplah sudah perlindungan anda.”
“Kenapa, wahai keponakanku?” tanya Walid. “Mungkin ada salah seorang anak buahku yang mengganggumu?”
“Tidak,” jawab Utsman, “Hanya saya ingin berlindung kepada Allah, dan tak suka lagi kepada lain-Nya! Karenanya pergilah anda ke masjid serta umumkanlah maksudku ini secara terbuka seperti anda dahulu mengumumkan perlindungan terhadap diriku.”
Lalu mereka berdua pergi ke masjid. Walid berkata, “Utsman ini datang untuk mengembalikan kepadaku, jaminan perlindungan terhadap dirinya.”
Setelah itu, Utsman pun berlalu. Sedang di salah satu gedung pertemuan kaum Quraisy, Lubaid bin Rabi’ah menggubah sebuah syair dan melagukannya di hadapan mereka, hingga Utsman jadi tertarik karenanya dan ikut duduk bersama mereka.
Lubaid berkata, “Ingatlah bahwa apa juga yang terdapat di bawah kolong ini selain Allah adalah hampa!”
“Benar ucapan anda itu,” kata Utsman menanggapinya.
Kata Lubaid lagi, “Dan semua kesenangan, tak dapat tiada lenyap dan sirna!”
“Itu dusta,”kata Utsman, “Karena kesenangan surga takkan lenyap.”
“Hai orang-orang Quraisy, demi Allah, tak pernah aku sebagai teman duduk kalian disakiti orang selama ini. Bagaimana sikap kalian kalau ini terjadi?” tanya Lubaid.
Salah seorang di antara mereka berkata, “Si tolol ini telah meninggalkan agama kita. Jadi tak usah digubris apa ucapannya!”
Utsman membalas ucapannya itu hingga di antara mereka tejadi pertengkaran. Orang itu tiba-tiba bangkit mendekati Utsman lalu meninjunya hingga tepat mengenai matanya, sementara Walid bin Mughirah masih berada di dekat itu dan menyaksikan apa yang terjadi.
Ia berkata kepada Utsman, “Wahai keponakanku, jika matamu kebal terhadap bahaya yang menimpa, maka sungguh benteng perlindunganmu amat tangguh!"
Kata Utsman, “Tidak, bahkan mataku yang sehat ini amat membutuhkan pula pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan Allah! Dan sungguh wahai Abu Abdi Syams, saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripadamu!”
“Ayolah Utsman”, kata Walid pula, “Jika kamu ingin, kembalilah masuk ke dalam perlindunganku!”
“Terima kasih!” ujar Ibnu Mazh’un menolak tawaran itu.
Di tengah jalan menuju rumahnya dengan gembira ia mendendangkan pantun ini, “Andaikata dalam mencapai ridha Ilahi mataku ditinju tangan jahil orang mulhidi, maka Yang Maharahman telah menyediakan imbalannya."
Demikian Utsman bin Mazh’un memberikan contoh dan teladan utama yang memang layak dan sewajarnya. Setelah dikembalikannya perlindungan kepada Walid, maka Utsman menemui siksaan dari orang-orang Quraisy. Tetapi dengan itu ia tidak merana, sebaliknya bahagia, sungguh-sungguh bahagia.
Siksaan itu tak ubahnya bagai api yang menyebabkan keimanannya menjadi matang dan bertambah murni. Demikianlah, ia maju ke depan bersama saudara-saudara yang beriman, tidak gentar oleh ancaman, dan tidak mundur oleh bahaya.
Utsman melakukan hijrah pula ke Madinah, hingga tidak diusik lagi oleh Abu Lahab, Umayah, Utbah atau oleh gembong-gembong lainnya yang telah sekian lama menyebabkan mereka tak dapat menidurkan mata di malam hari, dan bergerak bebas di siang hari.
Ia berangkat ke Madinah bersama rombongan sahabat-sahabat utama yang dengan keteguhan dan ketabahan hati. Di Madinah Al-Munawwarah itu tersingkaplah kepribadian yang sebenarnya dari Utsman bin Mazh’un, tak ubah bagai batu permata yang telah diasah, dan ternyatalah kebesaran jiwanya yang istimewa.
Kiranya ia seorang ahli ibadah, seorang zahid, yang mengkhususkan diri dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Ilahi. Ia mengisi kehidupannya dengan amal dan karya serta jihad dan berjuang di jalan Allah.
Memang, ia adalah seorang rahib di larut malam, dan orang berkuda di waktu siang hari. Bahkan, ia adalah seorang rahib yang baik di waktu siang maupun di waktu malam, dan di samping itu sekaligus juga orang berkuda yang berjuang siang dan malam.
Jika para sahabat Rasulullah SAW apalagi di kala itu semua berjiwa zuhud dan gemar beribadah, tetapi Ibnu Mazh’un memiliki ciri-ciri khusus. Dalam zuhud dan ibadahnya ia amat tekun dan mencapai puncak tertinggi. Rupanya ia setelah merasakan manisnya keasyikan ibadah itu, dan bermaksud hendak memutuskan hubungan dengan segala kesenangan dan kemewahan dunia.
Hati Rasulullah pun bagaikan disayat melihat itu, begitu juga para sahabat, air mata mereka mengalir karenanya.
Rasulullah SAW bertanya kepada mereka,“Bagaimana pendapat kalian, bila kalian punya pakaian satu stel untuk pakaian pagi dan sore hari diganti dengan stelan lainnya, kemudian disiapkan di depan kalian suatu perangkat wadah makanan sebagai ganti perangkat lainnya yang telah diangkat, serta kalian dapat menutupi rumah-rumah kediaman kalian sebagaimana Ka’bah bertutup?”
“Kami ingin hal itu dapat terjadi, wahai Rasulullah,” ujar Mereka, “Hingga Kita dapat mengalami hidup makmur dan bahagia!”
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya hal itu telah terjadi. Keadaan kalian sekarang ini lebih baik dari keadaan kalian waktu lalu!”
Tetapi, Ibnu Mazh’un yang turut mendengar percakapan itu bertambah tekun menjalani kehidupan yang bersahaja dan menghindari sejauh-jauhnya kesenangan dunia.
Bahkan, sampai-sampai kepada menggauli istrinya ia tak hendak dan menahan diri. Seandainya hal itu tidak diketahui oleh Rasulullah SAW yang segera memanggil dan menyampaikan kepadanya, “Sesungguhnya keluargamu itu mempunyai hak atas dirimu.”
Ibnu Mazh’un amat disayangi oleh Rasulullah SAW. Tatkala rohnya berkemas-kemas hendak berangkat, hingga dengan demikian ia merupakan Muhajirin pertama yang wafat di Madinah dan yang mula-mula merintis jalan menuju surga, Rasulullah SAW berada di sisinya.
Rasulullah SAW membungkuk menciumi kening Ibnu Mazh’un serta membasahi kedua pipinya dengan air yang berderai dari kedua mata beliau yang diliputi duka cita. Hingga di saat kematiannya, wajah Utsman tampak bersinar gilang-gemilang.
Rasulullah SAW bersabda, melepas sahabatnya yang tercinta itu, "Semoga Allah memberimu rahmat, wahai Abu Saib. Engkau pergi meninggalkan dunia, tak satu keuntungan pun yang kamu peroleh daripadanya, serta tak satu kerugian pun yang dideritanya daripadamu.”
Dan sepeninggal sahabatnya, Rasulullah yang amat penyantun itu tidak pernah melupakannya, selalu ingat dan memujinya. Bahkan, untuk melepas putri beliau, Ruqayyah, yakni ketika nyawanya hendak melayang, adalah kata-kata berikut,“Pergilah, susul pendahulu kita yang pilihan. Utsman bin Mazh’un!”



Tidak ada komentar:
Posting Komentar