Senin, 27 April 2020
Begini Hasil Uji Klinis Obat Malaria untuk Sembuhkan Pasien Virus Corona
Obat virus corona belum ditemukan hingga saat ini. Sejumlah negara
menggunakan beberapa alternatif dalam menyembuhkan pasien virus corona,
salah satunya obat malaria hidroksiklorokuin (hydroxychloroquine).
Karena
tidak sedikit pihak yang meragukan keampuhan hidroksiklorokuin dalam
mengobati pasien COVID-19, sekelompok peneliti di AS melakukan uji
klinis obat yang seharusnya digunakan untuk pasien malaria itu.
Hasil
penelitiannya menunjukkan, penggunaan hidroksiklorokuin untuk mengobati
pasien virus corona tidak memiliki manfaat.
Para peneliti yang terlibat
dalam studi itu justru menemukan, ada lebih banyak kematian di antara
pasien COVID-19 yang diberi hidroksiklorokuin ketimbang yang dirawat
secara standar.
Penemuan ini didasari dari laporan uji klinis
hidroksiklorokuin berskala nasional di AS yang dilakukan University of
South Carolina.
Tim ilmuwan menjelaskan, mereka mengidentifikasi 368
pasien laki-laki virus corona SARS-CoV-2 yang dirawat di seluruh pusat
kesehatan Administrasi Kesehatan Veteran AS per 11 April 2020.
Dari 368 pasien tersebut, peneliti membagi mereka jadi tiga kelompok.
Kelompok pertama berisi 97 orang yang hanya diberikan obat
hidroksiklorokuin selama dirawat.
Grup kedua berjumlah 113 orang yang
dirawat dengan hidroksiklorokuin dan azitromisin (azithromycin).
Adapun
kelompok terakhir berisi 158 pasien yang tidak diberikan
hidroksiklorokuin.
Peneliti menemukan, bahwa pasien yang diberikan
obat malaria hidroksiklorokuin justru punya tingkat kematian yang lebih
tinggi.
Dalam catatan mereka, tingkat kematian pasien yang hanya
diberikan hidroksiklorokuin mencapai 27,8 persen, dan 22,1 persen di
kelompok hidroksiklorokuin dan azitromisin.
Adapun pasien yang tidak
diberikan hidroksiklorokuin 'hanya' punya tingkat kematian 11,4 persen.
Selain itu, periset juga mencatat tingkat kebutuhan ventilasi di
kelompok hidroksiklorokuin mencapai 13,3 persen.
Di kelompok
hidroksiklorokuin dan azitromisin hanya 6,9 persen, sedangkan kelompok
terakhir mencapai 14,1 persen.
"Dalam penelitian ini, kami tidak
menemukan bukti bahwa penggunaan hidroksiklorokuin, baik dengan atau
tanpa azitromisin, mengurangi risiko ventilasi mekanik pada pasien yang
dirawat di rumah sakit dengan COVID-19," kata tim peneliti dalam
laporannya.
"Hubungan peningkatan kematian juga diidentifikasi
pada pasien yang hanya diobati dengan hidroksiklorokuin.
Temuan ini
menyoroti pentingnya menunggu hasil studi prospektif, acak, terkontrol
yang berkelanjutan sebelum adopsi luas dari obat ini."
Meski
demikian, peneliti menyebut bahwa laporan mereka bisa jadi punya
kekurangan. Sebagai contoh, objek penelitian mereka hanya terdiri dari
pasien laki-laki dengan rata-rata umur 65 tahun.
Hal ini membuat dampak
hidroksiklorokuin bagi pasien perempuan dan anak-anak tidak diketahui.
Ilmuwan juga menyebut bahwa kebanyakan objek penelitian mereka adalah
pasien kulit hitam, yang dilaporkan punya tingkat infeksi yang lebih
tinggi ketimbang pasien kulit putih.
Hasil penelitian ini telah diterbitkan di jurnal medis medRxiv pada Selasa (21/4).
Namun, riset ini belum melalui tahap peer-review oleh peneliti lain.
Hidroksiklorokuin
sendiri adalah varian dari klorokuin.
Keduanya memiliki struktur yang
sama tetapi memiliki sifat kimia dan biologis yang berbeda. Menurut
penelitian, hidroksiklorokuin lebih toksik daripada klorokuin.
Keduanya
saat ini tengah jadi obat darurat pasien COVID-19 di AS, yang telah
disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA).
Di Indonesia,
Presiden Jokowi mengumumkan penggunaan klorokuin sebagai obat pasien
COVID-19 sejak Maret 2020, dengan klaim bahwa obat tersebut "memberikan
kesembuhan."
Namun, keamanan dan efektivitas keduanya tengah jadi sorotan seiring
dengan munculnya laporan studi yang membuktikan bahaya obat tersebut
bagi pasien COVID-19.
Pada awal April 2020, misalnya, sebuah uji
coba klorokuin di Brasil dihentikan lebih awal dari jadwal yang
seharusnya karena alasan keamanan.
Sebab, pasien virus corona yang
dijadikan objek uji coba mengalami gangguan irama detak jantung yang
bisa berpotensi fatal setelah diberi klorokuin dalam dosis tinggi.
Laporan
dari Brasil tersebut menemukan, pasien yang diberikan 600 mg klorokuin
dalam 10 hari mengalami irama detak jantung abnormal.
Pada hari ke-6
riset, 11 pasien meninggal, situasi yang membuat peneliti langsung
menyudahi riset mereka.
"Temuan awal menunjukkan bahwa dosis klorokuin yang lebih tinggi
(selama 10 hari) tidak dianjurkan untuk pengobatan COVID-19 karena
potensi bahaya keamanannya," jelas tim peneliti dalam laporan mereka.
Brasil sendiri juga menjadi salah satu negara yang menggunakan obat malaria tersebut, selain Indonesia dan AS.
Adapun
dampak penggunaan klorokuin bagi pasien COVID-19 di Indonesia tidak
diketahui.
Hingga saat ini, tak ada laporan mengenai hasil penggunaan
klorokuin bagi pasien virus corona COVID-19 di Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar