Bicara soal No.10 seharusnya tidak melulu soal legenda paling tersohor Juventus, Alessandro Del Piero.
Dari rekam sejarah, Liam Brady pun pernah mengenakan angka keramat itu meski dalam waktu singkat.
Pria
kelahiran Dublin, Irlandia, tersebut dikenal sebagai salah satu sosok
penting dalam dunia sepak bola.
Kebintangannya mulai terpapar sejak
dirinya memperkuat Arsenal selama tujuh musim.
Ia mengakhiri
perjalanannya yang indah di Highbury tepat pada tahun 1980, hanya demi
memenuhi pinangan Juventus.
Atau lebih tepatnya untuk mengikuti langkah
sang pendahulu, Keevin Keegan.
Meskipun singkat, Brady berhasil
mendapatkan tempat khusus di hati penggemar Juventus.
Sayangnya, Brady
pergi dengan sedikit rasa pahit di hatinya karena tergantikan oleh sosok
lain.
Scroll ke bawah untuk membaca informasi selengkapnya
Mencapai Puncak Bersama Arsenal
Brady merupakan salah satu pemain binaan tim akademi
dan sudah bergabung dengan Arsenal sejak masih berusia 15 tahun.
Dua
tahun berselang, tepatnya pada tahun 1973, ia mendapatkan kesempatan
untuk melakoni laga debutnya melawan Birmingham City.
Brady harus
jatuh bangun untuk mendapatkan tempat di skuat inti Arsenal. Musim
perdananya berlangsung cukup buruk.
Namun, ia berhasil menunjukkan
secercah talenta miliknya pada musim berikutnya.
Ia menjadi
senjata utama Arsenal pada saat itu. Para penyerang the Gunners, seperti
Malcolm Macdonald dan Frank Stapleton, dibuat terbuai oleh
umpan-umpannya yang memanjakan.
Kehadiran Brady dalam skuat membuat
Arsenal berhasil memenangkan satu dari tiga partai final FA Cup dalam
kurun waktu tiga musim berturut-turut, mulai dari 1978 hingga 1980.
Pada
musim 1979/80, Brady bertemu dengan Juventus sebagai lawan di babak
semi-final Cup Winners' Cup.
Performanya membuat Bianconeri terkesima
dan tanpa pikir panjang langsung merekrutnya dengan nilai transfer 500
ribu pounds.
Brady, dengan berat hati, harus berpisah dengan
Arsenal yang telah mengorbitkan namanya.
Namun ia punya alasan yang
jelas. Pertama adalah masalah finansial, di mana Arsenal pada saat itu
merekrut pemain baru dan rela membayarnya tiga kali lipat dari Brady.
"Terdengar
konyol sekarang, tapi saya dibayar senilai 200 pounds per pekan.
Dan
ada pemain baru - saya takkan menyebut nama - yang dibayar tiga kali
lipat lebih besar," ujar Brady dalam sebuah wawancara, dikutip dari
Balls.ie.
"Juventus mau membayar saya 10 kali lipat dari nilai bayaran saya di Inggris," lanjutnya.
Mengikuti Jejak Kevin Keegan
Dan seperti yang diketahui, Brady bergabung dengan
Juventus pada tahun 1980.
Ia langsung diberi nomor punggung 10 yang
pernah dikenakan sosok legendaris berdarah Argentina, Omar Sivori.
Keputusan
Brady untuk keluar dari Inggris, apalagi hanya untuk ke Serie A yang
kala itu belum sepopuler sekarang, membuat publik mengernyitkan dahi.
Namun ambisi Brady untuk mengikuti langkah Kevin Keegan membuatnya yakin
untuk bertolak ke Italia.
"Pada waktu itu, Kevin Keegan pindah ke
Hamburg. Dia menjuarai Bundesliga bersama Hamburg.
Mereka adalah klub
papan atas. Dan Keegan adalah sosok yang sangat besar dalam sepak bola
Inggris," ingatnya.
"Ada pemberitaan dengan jumlah yang besar soal dirinya pergi. Mereka mengikutnya ke sana dan menunjukkan gaya hidupnya."
Pada
awalnya, Brady benar-benar ingin mengikuti langkah Keegan secara
persis. Ia sudah memilih Jerman sebagai destinasi berikutnya.
Dan kala
itu, ia hampir bergabung dengan Bayern Munchen. Namun karena suatu
alasan, kedua belah pihak gagal menemukan kata sepakat.
Baru
setelahnya, Brady memutuskan untuk bergabung dengan Juventus yang kala
itu dipegang pengusaha kaya bernama Gianni Agnelli.
Inilah awal mula
kisah pahit dari seorang Brady di Italia.
Kisah Perpisahan yang Pahit
Perjalanan Brady terbilang sangat singkat, yakni
selama dua musim saja, walaupun performanya tak bisa dibilang buruk.
Malah sebaliknya, ia turut membantu Juventus meraih Scudetto di dua
musim itu.
Brady juga berhasil mendapatkan tempat di hati fans
Juventus pada waktu itu. Uang pun tidak jadi masalah. Lantas, apa yang
membuatnya harus pergi?
Pada musim debutnya, Brady tidak hanya
mempersembahkan trofi Serie A kepada Juventus. Ia pun menjadi gelandang
dengan gol terbanyak.
Tidak, ia tidak menorehkan jumlah gol fantastis.
Delapan gol untuk satu musim dirasa normal kala itu. Tetapi, itu sudah
cukup untuk membuat fans Juventus terpana.
Performa Brady pada
musim berikutnya menunjukkan sedikit penurunan, tapi tidak memengaruhi
prestasi Juventus.
Ya, Bianconeri tetap mampu menutup musim 1981/82
dengan raihan Scudetto.
Namun itu tidak cukup untuk membuat Brady
bertahan di Juventus. Brady tidak menginginkan kepindahan ini. Tapi
Bianconeri juga tak memiliki pilihan.
Saat itu Juventus sangat
kepincut dengan pemain asal Prancis, Michel Platini. Membawanya ke Turin
bukanlah masalah besar.
Namun, regulasi ketat kompetisi yang membatasi
jumlah pemain asing di sebuah klub membuat Juventus harus membuat
keputusan berat.
Brady tahu bahwa karirnya di Juventus akan
berakhir. Meski begitu, ia tetap profesional dan membantu Juve sampai
pertandingan terakhir melawan Piacenza.
Bahkan, ia sukses mengkonversi
penalti menjadi gol di partai tersebut. Sebelum pergi, Brady memberikan
sedikit bumbu drama sebagai memento perpisahannya kepada manajemen tim.
"Berita
ini terkuak di surat kabar saat liga tinggal menyisakan tiga
pertandingan. Mereka punya lima surat kabar sepak bola dan mereka tahu
apa yang terjadi.
Mereka mendapatkan bocoran informasi," ungkap Brady.
"Pelatihnya
pada saat itu adalah [Giovanni] Trappatoni. Saya mendapat telepon dari
seseorang yang mengatakan 'mereka akan merekrut Platini'.
Dan saya
bilang 'Tidak, tidak, tidak,' Kemudian saya menutup telepon dan berpikir
'apakah mungkin...' Jadi saya mengunjungi Trap usai latihan pagi itu.
Dan dia bilang 'tidak, tidak, tidak...' tapi saya tahu dia berbohong.
Saya bisa lihat itu di wajahnya. Dia berada di posisi yang sulit."
"Saya
pulang usai latihan dan mendapatkan panggilan untuk kembali ke klub.
Dan [Giampiero] Boniperti, dengan gaya Italia yang khas, berkata,
'sungguh berat hati tapi... kami telah membuat keputusan ini.
Bila kami
mempertahankan anda kami bakalan... ini adalah aturan konyol, bahwa anda
hanya bisa memiliki satu atau dua pemain asing."
Brady
menjawabnya dengan perkataan yang cukup keras. Lantas, Boniperti
berkata: "Tidak, kita sedang mengejar trofi, tinggal tiga pertandingan
tersisa! Anda harus profesional!".
Tentu saja, Brady hanya mencoba
memanas-manasi legenda Juventus tersebut. Pada akhirnya, Brady tetap
melakoni pertandingan sisa dan menunjukkan sisi profesionalnya.
Pada
pertandingan terakhir, yakni melawan Piacenza, Juventus butuh tiga
poin. Mereka mendapatkan penalti pada menit-menit akhir.
Brady maju
untuk mengeksekusi, sambil diselimuti rasa kekhawatiran fans Juventus
yang menduga bahwa Brady akan menggagalkan penalti tersebut.
Setelah
semua drama itu, Brady melesakkan bola ke gawang Piacenza tanpa ragu.
Penonton Juventus bersorak dan berterimakasih kepada Brady.
Pasca Meninggalkan Juventus
Brady masih bertahan di Italia pasca meninggalkan
Juventus di tahun 1982.
Setelah angkat kaki dari Turin, ia bergabung
dengan Sampdoria yang merupakan tim promosi dari divisi Serie B.
Perlu
diketahui bahwa Sampdoria, kala itu, baru diakusisi oleh pengusaha kaya.
Bisa
dikatakan, Brady datang di waktu yang tidak tepat. Ia bermain selama
dua tahun. Dan pada waktu itu, Samp sedang merintis perjalanan menjadi
salah satu kekuatan terbesar di Italia.
Mereka kemudian meraih Scudetto
di musim 1990/91 serta finalis European Cup [sekarang Liga Champions],
atau tujuh tahun setelah kepergiannya.
Walau begitu, kiprah Brady
di Sampdoria tidak begitu buruk. Ia turut membantu mereka menempati
peringkat ke-7 dan enam di masing-masing musim.
Sebuah langkah yang
bagus untuk klub promosi seperti Sampdoria.
Setelah itu, Brady
memilih bergabung dengan Inter Milan. Ia bertahan selama dua musim, dan
berhasil mengantar klub berjuluk Nerazzurri tersebut finis di peringkat
ketiga Serie A.
Tidak hanya itu, ia juga ikut membantu Inter jadi
semifinalis di UEFA Cup.
Brady lalu melanjutkan karirnya di Ascoli
selama satu musim dengan catatan 17 penampilan tanpa mencetak gol.
Pada
tahun 1987, ia pulang ke London untuk bergabung dengan West Ham United
dan gantung sepatu tiga musim berikutnya.